Mau Bisnis Lebih Efisien? Cek Dulu 8 KPI Penting untuk Pengelolaan Stok

Efisiensi rantai pasok atau supply chain bukan lagi sekadar urusan perusahaan besar. Di era kompetisi bisnis yang makin cepat dan dinamis, pelaku usaha dari skala kecil, menengah, hingga besar di Indonesia perlu memastikan setiap tahap dalam proses distribusi dari pengadaan bahan baku, penyimpanan, hingga pengiriman ke pelanggan berjalan secara efisien dan terukur. Sayangnya, tantangan dalam pengelolaan supply chain di Indonesia masih cukup kompleks dan menyentuh banyak sisi: infrastruktur yang belum merata, biaya logistik yang tinggi, hingga rendahnya pemanfaatan data dalam pengambilan keputusan.
Menurut data dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, pada tahun 2023 biaya logistik nasional masih mencapai sekitar 23–24% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini jauh di atas rata-rata negara ASEAN seperti Malaysia yang hanya 13% dan Thailand sekitar 15% . Bagi pelaku usaha, kondisi ini bukan hanya menekan margin keuntungan, tapi juga meningkatkan risiko keterlambatan pengiriman, kerusakan produk, dan ketidakpuasan pelanggan.
Laporan dari The Jakarta Post juga menguatkan kenyataan ini. Dalam edisi Agustus 2023, Indonesia tercatat turun ke peringkat 63 dari 139 negara dalam Logistics Performance Index (LPI) yang dirilis oleh World Bank. Skor Indonesia hanya mencapai 3,0 dari 5, dengan nilai terendah pada aspek kemampuan melacak dan melacak pengiriman serta ketepatan waktu pengiriman. Ini berarti, banyak bisnis lokal terutama yang beroperasi di luar pulau Jawa menghadapi hambatan logistik yang berujung pada biaya operasional yang tidak efisien.
Selain itu, menurut publikasi di jurnal resmi BPPK Kementerian Keuangan, masih banyak pelaku usaha di Indonesia yang belum menggunakan indikator kinerja supply chain (KPI) secara terstruktur dan rutin. Padahal, penggunaan KPI tidak hanya berguna untuk memantau proses internal, tapi juga membantu pemilik bisnis memahami titik-titik lemah dalam alur distribusi mereka. Tanpa indikator yang jelas, pengambilan keputusan bisnis cenderung mengandalkan intuisi, bukan data dan ini bisa berdampak besar dalam jangka panjang.
1. Inventory Turnover
Inventory Turnover adalah KPI yang mengukur seberapa sering stok barang di gudang terjual dan diganti selama periode tertentu, biasanya dalam satu tahun. Metrik ini penting karena mencerminkan efisiensi pengelolaan persediaan, apakah barang bergerak cepat atau justru menumpuk di gudang tanpa perputaran. Bagi bisnis di Indonesia, terutama UMKM yang memiliki keterbatasan modal dan ruang penyimpanan, inventory turnover adalah indikator penting untuk memastikan bahwa modal tidak tertahan dalam bentuk barang yang lambat terjual. Sektor seperti makanan dan minuman, fashion, hingga barang konsumsi harian sangat bergantung pada perputaran stok yang cepat demi menjaga arus kas tetap sehat.
Rumus Inventory Turnover:
Inventory Turnover=Harga Pokok Penjualan (HPP) / Rata-rata Persediaan
Contoh: Jika HPP selama setahun adalah Rp500 juta dan rata-rata nilai persediaan adalah Rp100 juta, maka stok berputar sebanyak 5 kali dalam setahun.
Inventory turnover yang tinggi menunjukkan bahwa barang cepat laku dan gudang bekerja secara efisien, namun jika terlalu tinggi bisa menandakan stok terlalu minim dan rentan terhadap stockout. Sebaliknya, jika terlalu rendah, berarti barang lambat terjual, berisiko menumpuk, dan bisa menyebabkan kerugian akibat produk rusak atau kadaluarsa. Untuk mengoptimalkan indikator ini, bisnis dapat memantau turnover per kategori produk, menggunakan sistem manajemen stok yang akurat, serta menjadikan hasilnya sebagai dasar dalam menentukan strategi pembelian, promo, atau penyesuaian harga.

2. Stockout Rate
Stockout Rate adalah KPI yang mengukur seberapa sering suatu produk kehabisan stok saat ada permintaan dari pelanggan. Metrik ini sangat penting karena menunjukkan kemampuan bisnis dalam menjaga ketersediaan barang, yang secara langsung memengaruhi kepuasan pelanggan dan potensi pendapatan. Di Indonesia, banyak pelaku usaha terutama UMKM dan bisnis online masih sering menghadapi masalah stockout akibat pengelolaan stok manual, keterlambatan restok dari supplier, atau kurangnya prediksi permintaan yang akurat.
Rumus stockout rate:
Jumlah kejadian stockout / total permintaan (atau total SKU yang dikelola), x 100 persen.
Contoh: jika dalam satu bulan terjadi 15 kali kehabisan stok dari total 100 SKU yang dijual, maka stockout rate-nya adalah 15 persen.
Stockout rate yang tinggi menandakan bahwa bisnis sering gagal memenuhi permintaan pelanggan, yang bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan, migrasi ke kompetitor, atau kerugian penjualan. Di sisi lain, angka yang terlalu rendah mungkin menandakan overstock stok terlalu banyak untuk menghindari kekosongan. Untuk menyeimbangkan keduanya, bisnis perlu menetapkan reorder point berdasarkan data historis penjualan, mengoptimalkan jumlah minimum stok, serta menggunakan sistem peringatan otomatis agar pengadaan bisa dilakukan sebelum stok benar-benar habis. KPI ini sangat penting bagi bisnis yang menawarkan produk dengan permintaan tinggi atau musiman, seperti makanan siap saji, barang elektronik, atau fashion.

3. Lead Time
Lead time adalah KPI yang mengukur waktu yang dibutuhkan sejak proses pemesanan barang dilakukan hingga barang tersebut benar-benar tiba di gudang atau siap dijual. Semakin pendek lead time, semakin cepat bisnis bisa merespons kebutuhan pasar dan mengurangi risiko keterlambatan pengiriman ke pelanggan. Dalam konteks bisnis di Indonesia, lead time bisa sangat bervariasi tergantung lokasi supplier, moda transportasi, hingga kondisi infrastruktur.
Rumus lead time:
Tanggal barang diterima – tanggal pemesanan.
Contoh: jika barang dipesan pada 1 Mei dan diterima pada 6 Mei, maka lead time-nya adalah 5 hari.
Lead time yang panjang bisa menyebabkan keterlambatan produksi, kehilangan peluang penjualan, dan penumpukan pesanan yang belum terpenuhi. Sebaliknya, lead time yang pendek memungkinkan pengelolaan stok yang lebih ramping dan efisien. Untuk mengoptimalkannya, bisnis perlu mengevaluasi performa supplier secara berkala, membangun relasi dengan lebih dari satu pemasok, dan menggunakan sistem pelacakan pengiriman. Lead time juga penting dalam menentukan reorder point yang akurat, agar stok bisa dipesan tepat sebelum habis tanpa perlu menumpuk barang terlalu banyak.

4. Order Fulfillment Rate
Order Fulfillment Rate adalah KPI yang mengukur persentase pesanan pelanggan yang dapat dipenuhi secara lengkap, tepat waktu, dan tanpa kesalahan. Metrik ini mencerminkan keandalan proses operasional dari mulai manajemen stok hingga pengiriman akhir ke pelanggan. Dalam bisnis online dan ritel di Indonesia, fulfillment rate menjadi salah satu faktor utama dalam menjaga kepuasan pelanggan dan membangun reputasi merek.
Rumus order fulfillment rate:
Jumlah pesanan yang dipenuhi / total pesanan yang diterima)x 100 persen.
Contoh: jika ada 920 pesanan yang berhasil dikirim lengkap dan tepat waktu dari total 1.000 pesanan, maka fulfillment rate-nya adalah 92 persen.
Fulfillment rate yang tinggi menunjukkan bahwa sistem stok, pemrosesan pesanan, dan pengiriman bekerja dengan baik. Sebaliknya, nilai yang rendah bisa menjadi tanda adanya masalah: seperti kekurangan stok, kesalahan picking di gudang, atau keterlambatan pengiriman. Untuk meningkatkannya, bisnis perlu memastikan data stok selalu akurat, mempercepat proses pemrosesan pesanan, serta menjalin kerja sama logistik yang andal. KPI ini sangat penting bagi bisnis yang ingin menjaga loyalitas pelanggan dan menghindari komplain berulang.

5. Rate of Return
Rate of Return adalah KPI yang mengukur persentase produk yang dikembalikan oleh pelanggan dibandingkan dengan total barang yang terjual. Ini adalah indikator penting untuk menilai kepuasan pelanggan, kualitas produk, serta akurasi proses pengiriman dan pemenuhan pesanan. Semakin tinggi angka pengembalian, semakin besar potensi masalah pada produk atau proses bisnis.
Rumus: Rate of Return
Rate of Return = (Jumlah Barang yang Dikembalikan / Jumlah Barang yang Terjual) × 100%
Contoh: jika dari 1.000 unit produk yang terjual terdapat 50 unit yang dikembalikan, maka Rate of Return-nya adalah 5%.
Tingkat pengembalian yang tinggi bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kualitas produk yang buruk, deskripsi produk yang tidak akurat, atau proses pengemasan yang tidak memadai. Penting untuk menganalisis alasan pengembalian secara berkala dan mengkategorikannya (misalnya karena kerusakan, salah kirim, atau tidak sesuai ekspektasi). Upayakan perbaikan di sisi produksi, deskripsi produk, serta kontrol kualitas. Sistem inventaris modern juga bisa membantu melacak produk mana yang paling sering dikembalikan sehingga tindakan korektif bisa lebih terfokus.

6. Inventory Accuracy
Inventory Accuracy adalah KPI yang mengukur sejauh mana data inventaris dalam sistem sesuai dengan jumlah fisik yang sebenarnya di gudang. Ketidaksesuaian antara catatan dan stok riil dapat menyebabkan kekacauan operasional seperti kelebihan beli, kekurangan stok, hingga kesalahan pengiriman.
Rumus Inventory Accuracy
Inventory Accuracy = (Jumlah Item yang Sesuai / Total Jumlah Item Diperiksa) × 100%
Contoh: Jika dalam audit ditemukan 95 dari 100 SKU sesuai antara sistem dan fisik, maka tingkat akurasinya adalah 95%.
Akurasi yang tinggi menunjukkan sistem inventaris berjalan dengan baik, sementara akurasi rendah menunjukkan perlunya audit lebih sering atau peningkatan dalam pencatatan stok. Gunakan sistem inventaris yang terintegrasi dan otomatis untuk meminimalkan human error. Lakukan stock opname secara berkala, terutama untuk barang-barang dengan perputaran tinggi. Terapkan sistem barcode atau QR code untuk mempercepat dan meminimalkan kesalahan saat pencatatan. Akurasi inventaris yang baik bukan hanya soal efisiensi, tapi juga soal kepercayaan pelanggan terhadap ketersediaan produk.

7. Carrying Cost of Inventory
Carrying Cost of Inventory adalah total biaya yang dikeluarkan bisnis untuk menyimpan dan mempertahankan stok barang di gudang selama periode tertentu. KPI ini mencakup biaya sewa gudang, asuransi, penyusutan, pengamanan, serta opportunity cost dari modal yang tertahan dalam bentuk inventaris.
Rumus carrying cost:
Total biaya penyimpanan / Total nilai inventaris)× 100%
Misalnya, jika biaya penyimpanan tahunan adalah Rp120 juta dan nilai rata-rata inventaris sebesar Rp800 juta, maka carrying cost-nya adalah 15%.
Semakin tinggi carrying cost, semakin besar beban operasional yang harus ditanggung bisnis, terutama jika barang menumpuk terlalu lama di gudang. Oleh karena itu, mengukur dan mengontrol KPI ini sangat penting untuk efisiensi biaya. Salah satu cara menurunkannya adalah dengan menerapkan sistem just-in-time (JIT) atau mengoptimalkan level reorder agar stok disimpan dalam jumlah minimal namun tetap aman. Analisis ABC (mengelompokkan barang berdasarkan kontribusinya terhadap penjualan) juga bisa membantu menentukan mana yang layak disimpan lebih banyak dan mana yang perlu diminimalkan.

8. Days Inventory Outstanding (DIO)
Days Inventory Outstanding (DIO) adalah KPI yang menunjukkan berapa hari rata-rata yang dibutuhkan untuk menjual seluruh inventaris yang dimiliki bisnis. Ini memberikan gambaran tentang kecepatan rotasi stok dan efisiensi perputaran modal kerja dalam bisnis retail dan F&B.
Rumus DIO:
Rata-rata inventaris / Harga Pokok Penjualan × 365
Contoh: Jika rata-rata inventaris senilai Rp200 juta dan HPP tahunan adalah Rp1 miliar, maka DIO = (200 juta / 1 miliar) × 365 = 73 hari. Artinya, butuh 73 hari untuk menghabiskan inventaris yang tersedia.
DIO yang tinggi menandakan produk terlalu lama tersimpan di gudang, yang bisa menyebabkan pemborosan dan berkurangnya profitabilitas. Sebaliknya, DIO yang terlalu rendah bisa jadi indikasi manajemen stok yang terlalu ketat hingga berisiko stockout. Menjaga keseimbangan DIO sangat penting agar modal tidak terlalu lama tertahan dalam bentuk barang. Optimalisasi DIO bisa dilakukan dengan meningkatkan akurasi forecasting penjualan, mempercepat distribusi, serta menghapus produk slow-moving dari daftar utama.

Gunakan BoxHero untuk Pantau KPI Lebih Akurat
Mengukur performa inventaris bukan lagi sekadar pilihan, tapi kebutuhan strategis dalam menjalankan bisnis modern. Delapan KPI yang telah dibahas, mulai dari Inventory Turnover hingga Holding Cost menjadi fondasi penting untuk memahami seberapa efisien dan efektif pengelolaan stok yang dijalankan. Dengan memantau KPI ini secara rutin, pelaku bisnis dapat mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki, menyesuaikan strategi pengadaan, serta meminimalisir risiko seperti kelebihan atau kekurangan stok. Terlebih di era digital dan serba cepat seperti sekarang, keputusan berbasis data menjadi kunci untuk menjaga kelangsungan dan profitabilitas usaha.
Namun, mengukur saja tidak cukup. Bisnis perlu mengintegrasikan sistem inventaris yang mampu mencatat data secara real-time, memberikan notifikasi otomatis, dan menghasilkan laporan KPI secara instan. Tanpa alat yang tepat, semua data ini bisa menjadi sia-sia karena tidak bisa ditindaklanjuti secara akurat dan tepat waktu.
BoxHero membantu bisnis Anda melacak semua KPI penting inventaris dalam satu dashboard yang mudah digunakan. Dengan fitur otomatisasi, Anda tidak hanya menghemat waktu, tapi juga memastikan keputusan bisnis diambil berdasarkan data yang akurat dan terkini. Dari pengusaha ritel, pemilik gudang, hingga pelaku e-commerce semua bisa mengelola stok dengan lebih efisien, tanpa drama.
Coba BoxHero sekarang dan optimalkan performa inventaris Anda hari ini.